Sebuah meja berukuran sedang jadi pemandangan pertama penonton mini konser “Jemari
Berpena” Korekayu di Beringin Kantin Sanata Dharma Jogja, Sabtu (15/7) malam. Di atas meja yang dipasang tak jauh dari gerbang masuk dipajang puluhan surat bertulis tangan yang ditulis Raden Soeprapto, kakek additional gitar Korekayu, Lukas puluhan tahun lalu. Ada juga koleksi perangko luar negeri dan dua buah mesin ketik tempo doloe.
Di samping meja Korekayu juga menaruh sepeda onthel dan satu buah lampu jalan tempo
doloe. Simbolis sepeda itu yang digunakan Raden Soeprapto mengirimkan surat yang ditulisnya untuk teman-temannya di luar negeri ke kantor pos. Surat-surat yang ditulis dalam rentang waktu 1955-1968 itu menarik perhatian mereka yang datang. Hampir tiap penikmat musik malam itu berfoto bersama meja, mesin ketik, dan sepeda onthe Raden Soeprapto.
Instalasi itu memberi isyarat tentang judul lagu baru beserta video klip yang malam kemarin turut diluncurkan. Ada yang menebak judul lagu baru itu “Surat Cinta”, “Kakek”. “Kisah Kakek”, dan lain-lain. Padahal di meja yang penuh surat itu Korekayu sudah memberitahu jawaban tentang lagu baru. Bahkan dua pekan sebelum mini konser dimulai, mereka sudah menyelipkan judul lagu baru yang bikin banyak orang penasaran.
Ada sensasi ketika melihat tata panggung mini konser yang memang tepat di bawah Pohon
Beringin yang cukup tua di area kampus II Sanata Dharma itu. Dua set alat disusun dengan pencahayaan lembut mampu menyimpan kesan angker yang selalu hadir di Pohon Beringin. Kesan angker juga kian lenyap ketika Olski band pop menggemaskan Jogja membuka mini konser. Meski tanpa gitaris Dicky Mahardika yang tengah menunaikan ibadah Folk di Malang, Dea (vokal) dan Sobeh (pianika) tampil maksimal.
Bersama Faiz Laditya, bassist additional Olski yang kemarin malam didapuk bermain gitar, Hanif penggebuk drum band Jazz Boarding Room, dan pembetot bass Gilang (By The Way,
Remember), mereka sukses mengantar penonton bersenang-senang di halaman beringin.
Mereka juga berduet dengan Korekayu membawakan tembang hits “Datang Bulan” yang lalu menyerahkan panggung pada Korekayu.
Ratusan penonton mini konser langsung merapat ke depan set, begitu Bondan (vokal, gitar), Alfons (guitalele, vokal), Alvin (Drum), Bagas (Bass), Yustinus Blacky (kibor), Lukas (add. gitar) dan Elgar (add. kibor) mulai berdiri di set masing-masing. Seperti biasanya, teriakkan penonton perempuan selalu terdengar ketika Alvin duduk di belakang drum. Musisi ganteng ini memang kerap membuat penonton perempuan, bahkan laki-laki langsung lumer. Apalagi penampilannya malam itu sangat parlente.
Korekayu tampil full tim. Mereka tidak mau meninggalkan para personel yang membantu
perjalanan mereka selama ini. Blacky, kibordis yang terpaksa meninggalkan band sementara lantaran kesibukan berbagi suara dengan Elgar, additional Korekayu selama ini. Lalu Bondan malam itu harus rela tak bisa pecicilan seperti biasanya karena kakinya di-gips setelah motornya mencium kerasnya body mobil, sepekan sebelum mini konser.
Mereka memanjakan telinga penonton dengan “Jingga Senja dan Lalu Lalang Manusia” sebagai nomor pembuka dilanjutkan “Seorang Anak Lelaki” sebelum mereka menyapa penonton yang datang dengan candaan segar khas Jogja yang selalu sukses bikin ngakak.
“Halo teman-teman. Ketemu lagi kita di Sanata Dharma. Kampus kami, swasta yang mahal
sekarang. Gunungkidul mana Gunungkidul. Yaah Gunungkidul hadir. Jadi gini, saya terpaksa duduk karena kemarin habis cium Panther tahun 97. Lumayan juga cium Panther tahun 97, mobilnya masih keras daripada Avanza empuk,” kata Bondan lalu disambut pisuhan mesra penonton yang hadir.
Sebelum membawakan “Sari”. mereka lebih dulu menceritakan tentang kisah di balik lagu itu. “Sari” sebenarnya lagu sindiran untuk teman mereka yang berinisal Y–meski akhirnya disebut juga namanya: Yoga– yang tidak berani mengungkapkan perasaan ke teman mereka yang bernama Sari saat masa kuliah dulu. Kisah ini lagi-lagi direspon pisuhan yang membuat malam makin menyenangkan. Di Jogja seperti yang kita tahu, pisuhan adalah tanda kemesraan. Jangan salah paham.
Usai Sari, mereka membayar rasa penasaran penonton yang sejak awal menebak-nebak apa judul lagu baru mereka. Alfon mengarahkan pandangan mata penonton ke sebuah layar ukuran sedang–yang mereka bilang layar tancap– ke sebelah barat panggung. Korekayu memamerkan video klip sekaligus lagu terbaru yang mereka beri judul “Jemari Berpena”. Bisik-bisik penonton pun membesar.
“Oalaaahhh…. Jemari Berpena tho. Kirain Jemari Berpena itu tema konsernya. A*u tenan, apik. Ketipu aku, hahahah…” komentar seorang penonton. Raden Soeprapto sendiri jadi sosok dalam video klip itu. Ia membuka kotak berisi surat dari para sahabat penanya di luar negeri yang dipamerkan di atas meja usai pagar masuk. Ada juga surat-surat cinta dari istrinya. Kakek Lukas natural dalam video klip. Sesekali matanya memerah, barangkali ingat kisah-kisah sedih atau yang tengah dipendamnya dalam surat yang tulisannya
menggunakan bahasa Esperanto.
Bahasa Esperanto sendiri dianggap sebagai bahasa artifisial yang digunakan dalam surat
menyurat penduduk dunia sejak 100 tahun lalu. Dalam perkembangannya, bahasa ini pernah dituduh sebagai bahasa kaum komunis lantaran tenar di daerah Eropa Timur dan Baltik.
Korekayu langsung memainkan nomor baru itu usai pemutaran video klip. Berdurasi 3 menit, lagu ini berpotensi meledak. Riff gitar nyaman yang gampang digumamkan jadi pembuka yang cukup tepat. Pemilihan nada yang familiar dan lirik laiknya bahasa surat tulis tempo doloe membuat lagu ini tidak hanya kuat namun bakal langsung nyangkut di telinga pendengar. Sehingga tak heran ketika konser berakhir, para penonton ada yang menggumam “Jemari Berpena” berulang kali.
“Mini konsernya asyik banget. Lagu Korekayu ini asik, gampang dicerna, dan berlirik kuat. Untuk Korekayu, tetap berkarya sampai 15 tahun ke depan ya. Asyik,” puji gitaris Laquena sekaligus owner Gonsells Studio, Garrry Mailangkay yang turut menyaksikan mini konser itu.
Mini konser Korekayu kali ini berkonsep rapi dan mampu menggali memori para penonton
terhadap nasihat juga pelukan hangat kakek dan nenek mereka. Pun mereka yang pernah
mengalami masa indah menulis atau menerima surat dari orang terkasih. Lagu baru mereka ini bersama lima lagu dalam mini album “Retrorika Metropolitan” juga jadi penanda bahwa band yang dibesarkan di bawah tangga kantin Sanata Dharma ini adalah calon band pop pencetak hits. Tidak heran bila suatu hari nanti, Korekayu menjadi jawaban dari pertanyaan setelah Sheila On7, siapa lagi yang bisa menghasilkan lagu mengabadi yang bisa dinikmati tiap generasi.(DESTA)